KPK Mengirimkan Surat Penolakan RUU KUHP Ke.Jokowi
Jakarta, Suronews – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirim surat soal penolakan RUU KUHP kepada Presiden Joko Widodo. Isi dari surat itu, Lembaga Antikorupsi meminta pemerintah khususnya Jokowi mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP tersebut.
Selain Khusus Jokowi, surat juga dikirimkan ke pihak terkait di antaranya Ketua Panja RUU KUHP DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Ada 10 poin sikap KPK yang dirangkum dalam surat tersebut. Berikut isi surat tersebut:
Pertama, KPK berketepatan sesuai dengan pendapatnya terdahulu sebagaimana surat KPK Nomor 10002/01-55/12/2016 tanggal 14 Desember 2016 perihal keberatan terhadap rumusan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP yang dikirimkan kepada Ketua Panja RUU KUHP DPR RI tembusannya juga telah disampaikan kepada Presiden, Menteri Hukum dan HAM serta Kepala BPHN yang pada pokoknya menyatakan keberatan atas dimasukkannya delik-delik korupsi ke dalam RUU KUHP.
Kedua, dalam pandangan KPK, ada intensi dan indikasi, proyek kodifikasi melalui RUU KUHP yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR potensial mengabaikan salah satu amanat fundamental dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bebas KKN, mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor XI/MPR/1998 dan putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV2006 bertanggal 19 Desember 2006 yang ditegaskan kembali dalam putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 betanggal 23 Oktober 2012 serta melanggar Konvensi Internasional yang tersebut di dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC) yang sudah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC 2003.
Ketiga, KPK menilai negara tak bisa membantah fakta modus dan praktik tindak pidana korupsi di tanah air terus berkembang. Dampak yang dihasilkan dari kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan serta mengabaikan kepentingan rakyat, baik di sektor pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan sosial lainnya. Korupsi dalam perkembangannya juga dimaknai sebagai bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara dan pejabat pemerintah pelaku kejahatan terhadap masyarakat.
Keempat, berdasarkan berbagai alasan di atas, tindak pidana khusus yang diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dalam bentuk tindak pidana pokok (core crime) tidak dimungkinkan karena dalam Undang-undang 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 telah ditetapkan secara tegas dan jelas perbuatan/jenis tindak pidana korupsinya dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri serta tidak bisa dipilih perbuatan/tindak pidana korupsi yang mana yang dapat ditetapkan sebagai pidana pokok.
Kelima, KPK menganggap salah satu hal yang harus sungguh-sungguh diperhatikan, apakah korupsi sudah tidak menjadi kejahatan khusus di mana alasan utama dari lahirnya UU Tipikor adalah adanya kedaruratan korupsi hingga saat ini masih terjadi di Indonesia. Keluarbiasaan UU TPK terdapat dalam rumusan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR saat itu, sehingga dalam penerapannya KPK dapat menjerat seluruh pelaku tindak pidana korupsi.
Keenam, KPK menilai keinginan dari pemerintah dan DPR untuk melakukan kodifikasi terhadap ketentuan pidana di luar KUHP disatukan dalam bentuk RUU KUHP merujuk Undang-undang hukum pidana Belanda. Dengan kata lain pemerintah dan DPR tidak pernah membandingkan kondisi korupsi yang terjadi di Indonesia sama dengan kondisi korupsi di Belanda. Padahal, korupsi di Belanda tidak semasif di Indonesia.
Ketujuh, KPK berpendapat pembentukan suatu perundang-undangan apalagi peraturan perundangan yang mengatur tentang hukum pidana di Indonesia bukanlah hal yang mudah karena sarat dengan kepentingan politik, ekonomi dan bisnis. Ketika proses membentuk Undang-undang berada di dalam ruang politik maka akan muncul potensi Undang-undang yang sarat kemauan politik, ekonomi dan bisnis. Dampaknya, Undang-undang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin UUD.
Delapan, KPK meminta pemerintah melihat perkembangan dunia internasional yang sangat menarik saat ini. Setidaknya, ada 30 negara yang telah mengatur secara khusus pembentukan lembaga anti korupsinya dalam konstitusi di antaranya Malaysia, Hongkong, Filipina, Brunei Darusalam, Timor Leste, Vietnam, Brazil, dan lain-lain.
Sembilan, Dalam pandangan KPK, tindak pidana korupsi yang dimasukkan ke dalam buku RUU KUHP telah bertentangan dengan politik hukum, perkembangan kondisi serta kebutuhan bangsa dan negara saat ini. Hal ini dinilai sebagai pengingkaran atas komitmen bersama segenap bangsa Indonesia tidak hanya pemerintah namun DPR dan lembaga lainnya, seluruh elemen masyarakat serta dunia internasional yang saat ini masih memandang bahwa kondisi Indonesia masih darurat korupsi.
Terakhir, KPK mempertanyakan penyusunan RUU KUHP oleh pemerintah dan DPR melalui kajian mendalam atau tidak. Menurut KPK, jika penyusunan RUU KUHP tidak disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum, yang ada jelas sangat berisiko pada pemberantasan korupsi di tanah air. KPK berpendangan memasukkan tindak pidana khusus dalam kodifikasi akan menghilangkan determinasinya dan juga sifat kekhususannya, karena politik kriminal dan cara-cara khusus yang dibutuhkan untuk menghadapi modus, struktur, dan jaringan kejahatan tindak pidana khusus begitu kompleks dan cepat berubah akan tenggelam dalam keumuman kodifikasi KUHP.
Pada bagian penutup surat, KPK memohon kepada pemerintah khususnya Jokowi untuk mencabut delik tipikor dalam RUU KUHP tersebut. Jokowi diharapkan bisa melindungi masyarakat dari kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Surat dikirimkan ke Jokowi dan pihak lainnya secara bertahap yakni pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan terakhir pada 13 Februari 2018. Surat ini ditandatangani langsung Ketua KPK Agus Rahardjo. (red)
Tinggalkan Balasan