Khalifah dan Khilafah dalam Konteks NKRI Berdasarkan Pancasila

Kamis, Maret 8th 2018. | Headline, Politik & Hukum

Jakarta, Suronews – Pada persidangan hari Kamis, 8 Maret 2018 dengan nomor perkara 211/G/2017/PTUN.JKT di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Tim Kuasa Hukum Menteri Hukum dan HAM R.I (Tergugat) menghadirkan 2 Ahli dan 1 Saksi Fakta, serta mengajukan bukti-bukti tambahan.

Ahli Pertama dari Tergugat adalah Prof. Drs. Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA, Ph.D (Rektor UIN Sunan Kalijaga dan President of Asian Islamic Universities Association). Dalam persidangan Ahli menegaskan, “Al-Quran tidak pernah menyebut kata khilafah, tetapi Firman Allah SWT di dalam surat Al-Baqarah : 30-37 adalah khalifah”. Salah satu makna khalifah adalah orang yang mampu mengelola khilaf (kesalahan) dan ikhtilaf (perbedaan, kebhinekaan). Setiap perbedaan pasti berpontensi memunculkan perpecahan kemudian kelemahan. Khalifah harus mampu menyelesaikan masalah-masalah ini, sehingga sebagai problem solver harus memenuhi persyaratan untuk bidang/jabatan yang dia pilih sendiri.

Ahli menerangkan, “Mengapa ada khilafah sebagai sistem politik seperti yang ingin ditegakkan kembali oleh HTI, karena berkaca pada sejarah bahwa Rasulullah berhasil membebaskan kota Mekkah. Fathu Makkah ini ternyata merupakan revolusi pertama tidak berdarah dalam sejarah yang disebabkan adanya dukungan dari para Sahabat yang profesional dalam bidang mereka masing-masing”. Ahli menambahkan, “Berdasarkan fakta sejarah mengenai penyebab khilafah dibubarkan pada tahun 1924, adalah Khilafah Usmaniah (Turki) sebagai the last muslim superpower kalah Perang Dunia I (1918) karena teknologi militernya out of date dan dikhianati orang Arab (padahal itu pun Khilafah Usmaniah koalisi dengan Jerman dan Hungaria, dua negara Kristen!). Setelah ikut menghancurkan Khilafah Usmaniah, orang-orang Arab justru mendirikan kerajaan bukan khilafah!”. Kekalahan tersebut mengakibatkan Khilafah Usmaniah pecah menjadi sejumlah negara kecil yang berada di bawah penjajahan Inggris dan Perancis sebagai pemenang perang. Seluruh Dunia Islam terjajah kecuali Turki “moderen” (sebuah negara nasionalis kecil yang sudah dipisahkan dari negara-negara baru bekas wilayahnya) dan Iran. The last Muslim super power sudah dicabik-cabik oleh Sekutu, sehingga Snouck Hurgronje menegaskan “Islam telah mati!”.

Sedangkan hal yang berbeda terjadi di Nusantara yang sudah terjajah sejak jatuhnya Malaka (1511) dan Ternate (1512) ke tangan Portugis. Di tengah-tengah kegelapan masa depan inilah, tiba-tiba diselenggarakan Sumpah Pemuda, yang menghantarkan kepada kemerdekaan Indonesia. Pencapaian kemerdekaan Indonesia tidak ada tandingannya di dunia ini. Nasionalisme di Dunia Islam mencabik-cabik negara besar Islam menjadi negara-negara kecil (Khilifah Usmaniah menjadi puluhan negara), tetapi nasionalisme di Indonesia justru mempersatukan negara-negara (kesultanan, kerajaan) kecil, yang sudah terjajah sekian lama, menjadi negara besar NKRI. Bangsa Indonesia yang kemajemukannya berlapis-lapis (baik dari segi suku, bahasa, pulau maupun agama), tiba-tiba berhasil memproklamasikan kemerdekaan NKRI.

Khilafah bukan Solusi bagi Indonesia. “Dalam perdebatan-perdebatan tentang bentuk negara Indonesia merdeka, tidak seorang pun dari founding fathers mengusulkan khilafah. Khilafah sebagai sistem pemerintahan memang telah mati, sehingga tidak relevan untuk ditegakkan kembali. Uniknya lagi, tidak pernah terjadi dalam sejarah mana pun juga sultan-sultan atau raja-raja secara sukarela menyerahkan kesultanan, kerajaan atau tahta dan negara mereka kepada sebuah yang baru berdiri kecuali di Indonesia! Raja-raja atau sultan-sultan di Nusantara bukannya memerangi, tetapi justru melebur kerajaan-kerajaan mereka  ke dalam NKRI, sebuah negara nasional yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Fakta politik ini bertentangan dengan apa yang terjadi di pusat Dunia Islam di mana Jamaluddin al-Afghani (w. 1898) menyerukan agar Dunia Islam bergabung di bawah Khilafah Usmaniah guna membebaskan Dunia Islam dari penjajahan Barat. Namun, Gerakan Pan-Islam ini justru ditolak oleh Sultan Hasan I dari Maroko. Bagi Sultan Hasan I, bergabung dengan Pan-Islam berarti menyerahkan kerajaannya kepada Sultan Abdul Hamid II (Khalifah Usmaniah). Sayyid Ahmad Khan dari India (w. 1897) juga menolak seruan al-Afghani ini.

Pendirian Negara Khilafah seperti yang didengungkan oleh HTI berarti pemberontakan terhadap Negara Pancasila. Jika Negara Khilafah berhasil didirikan, maka NKRI akan dibubarkan dan diganti dengan negara baru. Padahal, Negara Pancasila merupakan hasil kesepakatan (ijmak atau konsensus) bangsa Indonesia. Siapa pun, khususnya umat Islam, yang terlahir di Negara Pancasila terikat dengan perjanjian kenegaraan ini. Sudah sangat jelas, Alquran memerintahkan agar “penuhilah perjanjian-perjanjian [yang Kalian buat]”, padahal mengingkari janji merupakan kemunafikan. Bahkan, Alquran menegaskan: “Orang-orang munafik berada di Neraka yang paling bawah!” Karena penentuan bentuk negara merupakan masalah ijtihadiah (bukan kewajiban agama) maka  umat Islam Indonesia tidak terikat dengan konsep Negara Khilafah HTI. Dengan demikian, Negara Pancasila yang ternyata sangat sejalan dengan semangat Piagam Madinah ini mendapatkan penguatan. Pancasila, tidak membutuhkan Khilafah sebagai sistem pemerintahan, tetapi sangat membutuhkan sebanyak khalifah dalam sebanyak bidang. untuk mempertahankan diri dan mewujudkan cita-citanya. Dengan kata lain tugas utama umat Islam adalah bersyukur, dengan mengoptimalkan profesionalitas dan kompetensi dalam rangka beribadah kepada Allah SWT melalui Pancasila, UUD 1945, Kebhinekaan dan NKRI, agar dapat mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamiin.

Penerapan pendirian) negara khilafah sesuai cita-cita HTI dilarang di Indonesia, agar negeri ini aman. Khilafah tidak bisa diterapkan di Indonesia karena negeri ini sudah berbentuk NKRI. Bangsa Indonesia sudah bersatu dalam Pancasila. Pemberontakan terhadap Pancasila berati pemberontakan terhadap Allah SWT!

 

Related For Khalifah dan Khilafah dalam Konteks NKRI Berdasarkan Pancasila