Melirik Kesiapan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan Jateng
Cilacap, Suronews – Masyarakat pesisir selatan, Jawa Tengah paham benar bahwa mereka tinggal di wilayah berisiko gempa dan tsunami. Tsunami Cilacap 2006 lalu misalnya, bisa menjadi risalah teranyar yang akan didengungkan hingga masa depan.
Bagi masyarakat pesisir, kata tsunami sekaligus adalah hantu yang bisa menyergap kapan saja. 15 Desember 2017, gempa Magnitude 7,3 yang lantas direvisi menjadi M 6,9 menggoncang pesisir Cilacap hingga wilayah Banyumas, Kebumen dan sekitarnya.
Gempa terjadi pukul 23.47.58 WIB. Nyaris tengah malam. Saat orang sedang tertidur pulas.
Celakanya, saat itu listrik padam. Akibatnya, sirine Early Warning System (EWS) Tsunami Tidak berbunyi. Tetapi, masyarakat pesisir paham, mereka harus mengungsi ke tempat yang jauh lebih tinggi.
Histeria massa terjadi. Puluhan ribu orang berebut jalan raya dengan sepeda motor, mobil. Orang-orang berlari meninggalkan harta benda. Mereka sadar, nyawa menjadi taruhan jika tetap bertahan di kawasan pesisir.
Hanya merasakan gempa, tanpa bunyi-bunyian sirine, terbukti masyarakat tanggap. Itu adalah bukti bahwa masyarakat pesisir umumnya menyadari bahwa tsunami berpotensi terjadi usai gempa besar.
Dua tahun berlalu, masyarakat pesisir kembali dibikin resah. Kali ini oleh pernyataan seorang pakar tsunami yang menyebut bahwa pesisir Cilacap, Kebumen, Yogyakarta hingga Jawa Timur berpotensi digoncang gempa M 8,8. Gempa Megathrust itu dapat memicu tsunami 20 meter.
Pemerintah Kabupaten Cilacap misalnya, sampai tergopoh-gopoh menggelar konfrensi pers, menggelar talksohow di radio, dan bergegas menggunakan saluran media sosial untuk menenangkan masyarakat dari isu tsunami 20 meter
Cilacap memiliki garis pantai sepanjang 71 kilometer. Sebanyak 59 desa dan kelurahan di 11 kecamatan wilayah Cilacap merupakan wilayah berrisiko tsunami. Terlebih jika tsunami 20 meter yang mampu menerjang daratan hingga empat kilomter.
Pemerintah telah memasang sebanyak 35 alat peringatan dini atau EWS tsunami. Dengan alat ini, harapannya korban jiwa jika sampai terjadi tsunami bisa ditekan.
Tetapi, dari 35 EWS tsunami itu, sembilan di antaranya, rusak. Kini, hanya sebanyak 26 EWS Tsunami yang beroperasi.
Kepala Seksi Pencegahan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap, Firman Baryadi mengatakan kerusakan terjadi lantaran angin laut yang menyebabkan besi porous. Alat elektronik sangat mudah berkarat saat terkena air hujan atau garam.
Dia mengemukakan, teknisi BPBD terus melakukan perbaikan EWS tsunami yang rusak tersebut. Alat yang rusak tersebar mulai dari pesisir Telukpenyu hingga pesisir Adipala, Cilacap.
Firman Baryadi mengungkapkan, “Rusaknya ganti-ganti, tidak cuma satu alat. Cuma ini perbaikannya bisa dilakukan oleh teknisi lokal. Suku cadangnya juga ada,” ucapnya
Terkait kesiapsiagaan masyarakat, Firman menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat di pesisir sudah menyadari bahwa tempat tinggalnya berrisiko gempa dan tsunami. BPBD juga telah membentuk desa tangguh bencana (Destana).
Dia mengungkapkan, tiap bulan sirine EWS Tsunami diuji coba dua kali. Yakni, pada tanggal 10 dan tanggal 25 di tiap bulannya.
“Tanggal 10 dinyalakan jam dua siang. Tanggal 25, dinyalakan jam delapan malam,” ujarnya. ( Buloh )
Tinggalkan Balasan