Anies Tidak Merasa Mengeluarkan Intruksi Masalah Anggaran Lift
Jakarta – Kediaman resmi Gubernur Anies Baswedan di Jalan Taman Suropati No. 7, Jakarta Pusat hanya terdiri dari dua lantai. Bangunan era kolonial itu pun tak begitu tinggi. Maka, jadi pertanyaan ketika anggaran pengadaan lift ada dalam ( RAPBD ) 2018 DKI Jakarta.
Anies merasa tak pernah mengeluarkan instruksi masalah anggaran lift Rp.750,2 juta
Anies Baswedan mengatakan, “Pembangunan lift ini , supaya tidak dilaksanakan dan dibatalkan. Nanti di APBD-P dihilangkan, saat ditemui di kantor MRT Jakarta, Kamis 25 Januari 2018,” katanya
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI itu mengaku, ia justru baru mengetahui soal anggaran lift dari berita di media. “Untung ketemu tuh,” ujarnya
Namun, reaksi Anies justru dipertanyakan Pelaksana Tugas Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Syarifuddin.
Menurut dia, gubernur dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), juga DPRD seharusnya sudah tahu. Apalagi, RAPBD harus dicek Badan Anggaran (Banggar) sebelum diserahkan kepada Kemendagri.
Syarifudin mengatakan, “RAPBD sudah disetujui bersama Pemprov dan DPRD. Artinya, dokumen itu sudah dicek. Harusnya tahu, Anies yang teken,” jelasnya
Meski demikian, Syarifuddin menduga, ketidaktahuan Anies soal pengadaan lift, bisa jadi lantaran mata anggaran yang terlalu banyak dalam RAPBD. Sehingga, sulit untuk menghapal tiap detilnya.
“Apapun itu, secara normatif harusnya DPRD dan Pemda sudah tahu dan setuju dong,” ujarnya
Dalam laman apbd.jakarta.go.id disebutkan jumlah dana yang akan digelontorkan untuk merenovasi rumah dinas Anies sebesar Rp. 2.439.979.420. Namun tidak ditemukan anggaran lift sebesar Rp 750 juta dalam item renovasi rumah tersebut.
Hal itu juga diakui oleh Kemendagri. Selama pengoreksian RAPBD, Kemendagri tidak menemukan anggaran lift masuk dalam barisan komponen renovasi.
Syarifuddin mengatakan,”Karena ada banyak kegiatan. Kalau kita baca APBD pasti tidak muncul satu kegiatan (pengadaan lift) sendiri sehingga tidak nampak. Karena itu terbungkus kegiatan lain, kita tidak sedalam itu (mengecek),” ungkapnya
Sementara itu anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI M Taufik mengatakan, pengadaan lift di rumah dinas Anies Baswedan berasal dari Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta.
Usulan anggaran lift itu diketahui masuk dengan nomenklatur Rehabilitasi/Renovasi Gedung/Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta
Saat dikonfirmasi soal anggaran lift yang tak ada dalam daftar komponen renovasi, nada bicara Taufik meninggi. Dia sewot kepada pihak yang memasukkannya.
“Berarti kan nakal itu. Sudahlah. Pecat aja,” ujarnya
“Kalau menurut Pak Sekda (Saefullah), kan dua tahun lalu juga begitu. Tiba-tiba diusulkan. Pasti ada yang mengusulkan, bagaimana ada anggaran bisa masuk sendiri,” tegasnya
Kucing Kucingan Anggaran Lift
Anggaran pengadaan lift ini memang relatif terkuak belakangan ketimbang kolam ikan koi di Gedung DPRD atau biaya basmi tikus yang tak kalah kontroversial, misalnya.
Anggaran itu tertera dalam situs sistem informasi rencana umum pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) (sirup.lkpp.go.id).
Di sana tertulis anggaran pengadaan elevator atau lift rumah dinas gubernur DKI Jakarta sebesar Rp 750,2 juta. Kemudian terungkap pengadaan alat transportasi vertikal itu masuk dalam pos anggaran Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Pemprov DKI.
Seandainya tak terungkap media, bisa jadi anggaran itu lolos.
Pelaksana Tugas Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin menilai, jika Pemprov DKI masih menggunakan e-budgeting, seharusnya akan mudah untuk mengetahui siapa yang memasukkan “anggaran siluman” itu di tengah jalan.
Sistem e-budgeting yang menggunakan password ini berfungsi untuk mengunci input data yang diisi SKPD. Tujuannya agar tidak ada yang seenaknya mengubah anggaran yang telah ditetapkan.
Syarifuddin menjelaskan, Meskipun, “kalau pakai e-budgeting bukan berarti enggak bisa dibuka, ada pejabat yang punya passwordnya,” katanya
Secara terpisah, pengamat perkotaan Yayat Supriatna meminta Pemprov DKI untuk tertib dalam beradministrasi, terutama terkait anggaran.
Untuk program yang memiliki mata anggaran dalam APBD, Pemprov DKI bisa langsung mengeksekusinya. Sebaliknya, “kalau tidak ada anggaran, ya ditunda,” ujar dia.
Terlebih soal lift di rumah dinas yang dianggapnya termasuk urusan pribadi. Kata dia, masih ada permasalahan yang lebih penting ketimbang hal tersebut.
“Itu sumber kebutuhan mendesak enggak sih? Kalau enggak, ya ditunda. Tidak boleh ada anggaran siluman dalam APBD. Semua harus jelas mata anggaran. Tertib administrasi,” imbuhnya.( ika )
Tinggalkan Balasan